MISTERI MARSHANDA DENGAN BIPOLAR Kisah Marshanda Didiagosa Menderita Bipolar. Penyataan itu meluncur dari bibir Marshanda. Ia mengaku didiagnosa menderita bipolar disorder tipe 2 oleh dokter ahli jiwa yang menanganinya.
Emosi perempuan yang akrab dipanggil Chacha itu kerap dianggap tak stabil. Ia pernah mengunggah video penuh luapan kemarahan ke teman-temannya pada tahun 2009.
Dan 21 Juli lalu kembali beredar video Marshanda di YouTube berjudul ‘Letter to God’. Memang hanya berisi puisi curahan hati dalam Bahasa Inggris. Tapi, yang bikin heboh, dalam di video berdurasi 3 menit 21 detik itu, ia mengurai rambutnya yang dicat berwarna kekuningan. Lepas hijab.
Marshanda memang sedang dilanda banyak masalah. Perceraiannya dengan Ben Kasyafani, perebutan hak asuh anak semata wayangnya, hingga perselisihan dengan sang ibu, Riyanti Sofyan. Tapi benarkah ia menderita gangguan bipolar?
Secara ilmiah, bipolar disorder atau gangguan bipolar adalah salah satu diagnosa gangguan kejiwaan pada perasaan (suasana hati) seseorang. Istilah bipolar sendiri mengacu pada adanya dua kutub yang melanda mood atau suasana hati pasien secara bergantian, yaitu kutub manik dan kutub depresi.
“Manik adalah mood yang meningkat. Dia merasa gembira luar biasa. Dia punya tenaga luar biasa, nggak capek-capek. Dia bisa berbicara banyak sehingga kita tidak bisa menyela perbincangannya. Idenya sangat banyak. Dia bisa punya percaya diri luar biasa. Dia bisa tidak tidur tanpa ada rasa lelah. Dan keinginan seksualnya pun tak terbendung,” tutur dokter spesialis kejiwaan dari Departemen Psikiatri FKUI/RSCM Dr dr Nurmiati Amir SpKJ(K)
Menurut Nurmiati, penderita gangguan bipolar bisa melakukan tindakan menyerempet bahaya. Misalnya mengebut di jalan raya karena percaya diri luar biasa. Bisa juga pergi ke diskotek untuk mencari ekstasi dan menambah euforianya.
Seseorang dikatakan dalam episode manik, dokter Nurmiati, ketika gejala-gejala seperti yang disebut sudah berlangsung satu minggu. Namun suatu saat ia akan merasakan perasaan depresi. Ia akan merasakan suasana hatinya sedih luar biasa sepanjang hari selama berhari-hari.
“Berkebalikan dengan manik, ia akan merasa murung, menangis terus-menerus, merasa tidak ada tenaga, sampai-sampai untuk mengangkat sendok dia tidak berdaya,” terang dokter Nurmiati.
Pada saat episode depresi, pasien bipolar disorder pun tidak memiliki minat terhadap apa-apa, termasuk terhadap sesuatu yang pada saat kondisi normal ia sukai. Lalu, ia pun merasa bersalah, padahal tidak ada kesalahan yang ia buat.
“Misalkan ia mempunyai kesalahan dan merasakan kesalahan itu sangat luar biasa hingga berpikir untuk bunuh diri. Karena merasa hidup tidak ada guna lagi,” kata Nurmiati.
Dua hal inilah yang terjadi pada pasien dengan gangguan bipolar. Namun suatu ketika ia kembali pada keadaan normal seperti sebelum sakit. Sehingga ia bisa beraktivitas seperti biasa.
Menurut dokter Nurmiati, bipolar disorder mulai memperlihatkan gejala yang sudah disebut pada usia pubertas atau remaja. “Ada juga yang terjadi pada usia lanjut, namun itu jarang,” terang Bu Dokter.
Dengan melihat gejala-gejala di mana seseorang bisa depresi lalu beberapa pekan kemudian manik, orang lain bisa mengetahui adanya gangguan bipolar pada diri orang tersebut.
Seseorang dengan gangguan bipolar bisa mengalami perasaan sangat sedih atau disebut dengan episode depresi, namun pada lain waktu bisa mengalami episode manik.
Bipolar disorder akan menunjukkan gejala-gejala yang berbeda levelnya, oleh karena itu menurut Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Dokter Danardi Sosrosumihardjo SpKJ(K) terdapat tiga jenis bipolar disorder. Yaitu bipolar disorder tipe 1, bipolar disorder tipe 2, dan unipolar.
Pada unipolar, gejala yang diperlihatkan hanya satu gejala depresi saja. Sedangkan pada bipolar 1 dan 2 sama-sama memiliki episode manik dan depresi. Namun perbedaan terletak pada maniknya.
Jika benar Marshanda menderita bipolar disorder tipe 2, dia menderita manik dengan tingkatan yang tidak seekstrem pada bipolar tipe 1. Atau disebut dengan hipomanik atau setengah.
“Jika dianalogikan dengan angka, pada pasien bipolar 1 maniknya 10, bipolar 2 maniknya 5, sedangkan pada unipolar nol,” terang dokter Danardi.
Menurut Danardi, bisa saja ada perubahan diagnosa tipe bipolar pada seseorang. “Seseorang yang memiliki bipolar tipe 2 misalnya tidak diobati bisa berubah menjadi tipe 1,” terang dia.
Namun, psikiater saja yang berkompeten mendiagnosis seseorang mengalami bipolar disorder atau tidak lewat pemeriksaan klinis lewat wawancara maupun pemeriksaan penunjang lainnya.
Setelah psikiater melakukan serangkaian pemeriksaan baik lewat wawancara terhadap pasien dan keluarga terdekat atau pemeriksaan penunjang terhadap seseorang yang diduga mengalami gangguan jiwa, dokter spesialis kejiwaan akan mendiagnosis ia sakit apa.
Jika sakit bipolar disorder, psikiater akan menangani pasien tersebut agar memiliki kehidupan layaknya orang biasa. Salah satu caranya dengan pemberian obat.
“Memberikan obat adalah cara untuk mencegah episode manik atau depresi datang. Obat ini diminum secara terus-menerus. Namun nanti kan ada kalanya dosis obat yang diberikan lebih rendah,” terang dokter Nurmiati.
Menurut Nurmiati, obat yang dikonsumsi oleh orang bipolar akan mengontrol suasana hati yang menstabilkan mood baik pada saat manik maupun depresi. Karena itu, obat ini harus dikonsumsi terus-menerus seperti obat diabetes dan hipertensi.
“Baru nanti kalau dokter bilang stop makan obat, pasien bisa berhenti makan obat,” tandas dokter Nurmiati.
Selain dengan mengonsumsi obat, pasien bipolar disorder pun akan diberi wawasan oleh psikiater. “Jadi pasien bipolar disorder bisa mengenali gejala bahwa ia sedang mengalami depresi atau manik. Sehingga ia mampu mengendalikan diri,” terang Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia dokter Danardi Sosrosumihardjo, SpKJ
Dalam program televisi "Just Alvin" di Metro TV, Marshanda menyatakan bahwa hanya dengan mengobrol bersama dokter tanpa ada brain scan atau tes laboratorium lainnya, ia sudah didiagnosa menderita gangguan bipolar tipe 2 dan diberikan resep obat.
Lalu apakah hanya dengan mengobrol antara psikiater dan pasien sudah bisa mendiagnosa seseorang mengalami gangguan bipolar?
Dokter Danardi Sosrosumihardjo, SpKJ(K) pada Senin 11 Agustus 2014 menyatakan bahwa psikiater butuh wawancara panjang untuk mengetahui adanya gangguan kestabilan emosi jiwa pasien mulai dari riwayat hidup sejak kecil, anak-anak, remaja.
“Seorang dokter harus punya data medis riwayat jangka panjang pasien. Psikiater mewawancarai bagaimana kehidupannya sejak kecil. Adakah riwayat gejala depresi atau manik semasa hidupnya. Karena jika saat diwawancarai kondisinya sedang dalam normal sulit untuk diketahui,” terang dokter Danardi.
“Sama seperti penyakit epilepsi, jika ia tidak kejang-kejang kita tidak tahu ia sakit epilepsi atau tidak. Oleh karena itu dengan menanyakan riwayat jangka panjang baru ketahuan,” tambah dia.
Obrolan yang dilakukan antara psikiater dan pasien juga bukan sekadar obrolan biasa. “Wawancara psikiater dengan pasien gangguan jiwa itu ada tekniknya, dan seorang dokter spesialis kejiwaan butuh waktu empat tahun untuk memelajari hal ini,” tambah dokter Andri, SpKJ, FAPM dari Klinik Psikosomatik RS Omni Alam Sutera saat dihubungi Liputan6.com.
Kejujuran pasien juga dibutuhkan saat menjawab pertanyaan-pertanyaan psikiater. “Kalau tidak jujur, bisa saja psikiater keliru mendiagnosis” tambah dia.
Selain menanyakan kepada pasien, orang-orang terdekat pasien juga ditanyai untuk melengkapi data medis riwayat jangka panjang agar diketahui ada tidaknya ketidakstabilan emosi baik manik atau depresi.
"Cukup dengan wawancara dengan cara tepat, diagnosis sudah bisa ditegakkan," terang dokter spesialis kedokteran jiwa yang juga dosen tamu di Fakultas Psikiatri FK UI ini.
Jika psikiater merasa wawancara pasien dan keluarga kurang, baru dilakukan pemeriksaan penunjang, seperti psikometri dan tes laboratorium. Demikian tutur dokter Danardi dalam kesempatan berbeda di Diskusi Bulanan IDI di Jakarta 13 Agustus 2014.
Ditambahkan dokter Andri, gangguan bipolar merupakan gangguan pada fungsi otak, bukan fisik organ otak. Itulah alasan mengapa wawancara psikiater hal yang terpenting dibanding pemeriksaan penunjang.
Gangguan bipolar bisa menimpa pria dan perempuan pada usia relatif muda di bawah 15 tahun. Namun, menurut Nurmiati, untuk menegakkan diagnosis pada perempuan butuh waktu lebih lama.
Seseorang didiagnosa menderita gangguan bipolar tipe 1 maupun 2 setelah mengetahui adanya gejala manik dan depresi. Umumnya, pada perempuan, gejala yang muncul untuk pertama kali berupa depresi dan bisa jadi selanjutnya depresi kembali. Ini bisa menyebabkan psikiater mendiagnosis gangguan kejiwaan depresi lainnya, seperti depresi mayor berulang.
"Misalnya kita lihat gejalanya depresi terus menerus tapi maniknya belum terlihat. Bisa saja diagnosanya salah," terang dokter Nurmiati usai acara Diskusi Bulanan IDI di Jakarta pada 13 Agustus 2014.
Tetap Berprestasi
Vindy Ariella (23) dan Igi (34) adalah dua sosok muda yang optimistis, dinamis, dan penuh karya. Mereka tetap menjalani hidup dengan semangat meski mengalami gangguan bipolar.
Vindy misalnya, pertama kali didiagnosis gangguan bipolar saat usia 18 tahun. Sudah 5 tahun ia jalani kehidupan dengan gangguan kejiwaan ini namun kini ia bisa berkarya di bidang seni sebagai freelance designer yang mampu menghasilkan desain sketsa dengan gambar apik.
Tak hanya memenuhi permintaan desain, ia pun berkarya pada saat depresi. "Saya sedang mencoba menjalani art health. Misalnya, saat depresi, saya tuangkan apa yang saya rasakan ke atas kanvas," jelasnya sambil menunjukkan hasil karyanya.
Apakah gangguan bipolar bisa bekerja kantoran? Bisa. Igi membuktikannya. Gangguan bipolar yang diketahuinya September 2013 lalu tak mengganggu kinerjanya sebagai pekerja di bidang finance.
"Selama ini saya mampu mengontrol diri untuk terus berangkat kerja dan tidak ada masalah dengan pekerjaan yang saya lakukan. Meski sedang mengalami depresi, tanggung jawab sebagai pekerja itu yang mendorong saya," ungkap perempuan berambut pendek itu, yakin.
Semangatnya dua sosok ini dalam menjalani kehidupan sebagai pasien gangguan bipolar, merembet ke teman-teman lain. Bersama Mili, Miri, dan Rendi mereka mendirikan sebuah komunitas Bipolar Care Indonesia (BCI) pada Mei 2013. BCI sebagai sebagai wadah terutama bagi teman-teman Orang Dengan Bipolar (ODB) dan care giver atau orang-orang yang berada di sekitar ODB serta orang-orang yang peduli ODB.
Mencapai kehidupan seperti layaknya orang sehat jiwa lainnya, kedua sosok ini penuh usaha untuk mencapai titik ini. Seperti layaknya pasien gangguan bipolar, kedua orang ini mengalami ketidakstabilan perasaan baik episode depresi maupun manik.
Semasa kuliah di fakultas kedokteran dahulu Vindy pernah merasakan seperti ada beban sungguh berat untuk kuliah. Duduk di kelas dengan pikiran kosong, konsentrasi terganggu, langkahnya gontai, tiba-tiba menangis bahkan pernah muncul perasaan ingin mengamuk.
Saking sedihnya episode depresi yang ia alami, ia merasa masa depannya suram, ia tak berguna lagi dan merasa hidupnya hanya menyulitkan orang lain. Sampai-sampai ia pernah berpikir bunuh diri, upaya bunuh diri pernah ia lakukan sekali dengan menenggak banyak obat hingga overdosis.
Berbeda halnya saat manik, energi perempuan asal Jakarta ini jadi berlebih. Segala ketertinggalan materi kuliah pada saat depresi langsung dikejarnya dengan semangat. Sampai-sampai ia kurang tidur. Lalu, ia lebih boros, bisa saja tiba-tiba ingin shopping, beli baju-baju mahal menggunakan uang kosnya.
Pernah juga ia merasakan bosan makan obat, karena tiap hari harus makan obat antidepresan dan mood stabilizer dari psikiater. "Pernah empat bulan nggak makan obat, tapi malah episode depresi dan maniknya berlangsung cepat. Pas datang lagi ke psikiater lagi diberi obat dengan dosis tinggi," jelas dia sambil tertawa mengingat kejadian ini.
Pikiran untuk bunuh diri pun pernah menghampiri Igi, tapi untungnya belum sampai mencoba untuk melakukannya. Selain itu, pada saat depresi ia tak ingin melakukan apa-apa. Rasanya malas. Bahkan untuk mengangkat sendok untuk makan pun tak ada. Bahkan hal-hal yang sangat disukainya pada saat normal bisa tak menarik sangat depresi.
Mendengarkan lagu-lagu sedih pun mampu memicu emosinya untuk depresi."Misalnya lagu Geisha, itu kan enak banget ya... Tapi bisa buat saya larut dan memunculkan perasaan sedih dan depresi," ujar perempuan asal Depok ini.
Akhirnya kini ia tidak masukkan playlist lagu-lagu sedih. Memilih dengan lagu-lagu semangat agar memunculkan perasaan positif pada dirinya.
Kini Igi sudah diizinkan untuk tidak mengonsumsi obat oleh psikiaternya. Karena itu ia berusaha untuk mengontrol pikirannya dan segera beraktivitas jika merasa depresi muncul.
Kedua sosok ini kini jadi penyemangat ODB lain bahwa mereka sama seperti orang sehat jiwa lainnya, yang mampu berkarya dan berprestasi.
Link Artikel: http://beritainfosehat.blogspot.com/2014/08/misteri-marshanda-dengan-bipolar-kisah.html
Rating Artikel: 100% based on 9999 ratings. 99 user reviews.
Rating Artikel: 100% based on 9999 ratings. 99 user reviews.
No comments:
Post a Comment